Friday 26 September 2014

Bukan Hanya di Hati

Kamu, yang Tuhan hadirkan -- atau mungkin sekadar Ia sisipkan -- dalam cerita hidupku
Bukan hanya mengisi hati dan membuatnya sehangat itu setiap senja
Tiap terbenamnya matahari, menambah dalam rasa 
yang kau tanam pada hati yang pernah lebam
Kamu juga, memeriahkan pagiku dengan hadir di pikiran

Oia, pikiranku selalu mewartakan tentang kamu,
jauh lebih awal daripada jatuhnya surat kabar di depan pintu
Selalu Setiap pagi.

Kamu, akhirnya lebih sekadar di hati
Kamu jadi inspirasi untuk setiap jatuhnya tinta yang berupaya merangkai puisi

Aku Baru Tahu Kamu Semenenangkan Itu

Lantas bagaimana jika tenang yang kudapat, hanya jika aku dalam pelukmu? 
Lantas bagaimana jika muara yang ingin dituju air mataku hanya kutemukan ketika kubenamkan wajah di dadamu? 
Lantas bagaimana jika pikiranku hanya bisa tenang ketika kusandarkan ia pada bahumu

Aku baru tahu kamu semenenangkan itu.
Jangan pernah pergi, ya.

Monday 22 September 2014

Aku Ingin jadi Satu-satunya Definisi Cinta yang Kau Pahami

Pada pagi yang juga belum retas 

Dan pula aku,tak bisa mencintaimu dengan biasa
mencintaimu dengan setengah, tidak dengan seluruh
Aku tidak pernah bisa mencintai tanpa jadi gila, 
tanpa menjadikanmu duniaku

Aku ingin kamu paham soal cinta yang tidak main-main 
dan aku ingin jadi satu-satunya definisi cinta yang kau pahami
Seumur hidupmu

Berhenti Menulis Tangan

Pada ambang malam hari

Belakangan ini, aku mencoba mengurangi menulis dengan tangan

Menulis tangan buatku, bukan sekadar menggelar angan pada kertas
tapi juga mengajak perasaan untuk turut bekerja keras

Perasaanku telah banyak dikorbankan, 

ketika dulu aku masih sering menulis dengan tangan
Kesedihan, muak, dan kecewa terus coba disuratkan pena pada genggam jemari
Sementara benang luka pada hati dibuka kembali -- tercerabut helai demi helai

Menulis tangan buatku, berarti menghimpun kembali memori

yang untuk beberapa waktu bersembunyi pada sela-sela saraf

Menulis tangan buatku, berarti mengundang  organ tubuh, rasa yang telah luruh, 

juga percaya yang telah runtuh untuk rela dipersatukan guna mencipta cerita utuh
Meski kesatuannya hanya sekadar pura dalam waktu yang sekian paruh

Belakangan ini, aku mencoba mengurangi menulis dengan tangan

dan membiarkan inspirasi menulis diri pada laman bebas di udara
yang entah siapa sudi jadi pembaca

Setidaknya aku tidak perlu tersiksa sebegitunya

Konektivitas jemari, hati, dan memori yang terlampau kuat
melemahkan jiwa begitu payah



Thursday 18 September 2014

Bertutur Pop Kultur



Langit imaji hari ini kian cerah
Kata zaman, ia telah menemukan wadah
untuk hujan ide yang kian ruah

Hujan ide seringkali datang membawa pesan 
dari geliat manusia pada zaman hari ini
Melarutkannya dalam kreasi 
Menentang persepsi hakiki

Sebagian penyair, menampungnya dalam puisi semau-mau
Sementara ahli gores, menampungnya dalam gambar semau-mau
Begitu pula tukang musik, mencipta lagu semau-mau
Juga tukang foto, semakin giat memamerkan foto semau-mau

Semua yang serba semau-mau itu
akibat manusia hari kini yang makin semau-mau
akibat zaman yang jauh maju dan tak kenal malu

Seringkali dibilang melantur 
tak membuat ide lantas luntur
Penyair, ahli gores, tukang musik, juga tukang foto terus mencoba bertutur
Berusaha merekam kultur dengan cara yang barangkali beda kontur

Langit imaji hari ini kian cerah
karena dunia tak lagi sesempit dulu
karena ide kian mudah diunggah
karena karya kian mudah diaku


Written for Persma Genera's Magazine #3. October 2014.

Saturday 6 September 2014

Srenggani

Aku berjanji akan datang ke rumahmu pada dini hari
dengan membawa bibit bunga matahari
Yang katamu akan kau tanam pagi itu juga
sembari menemani Srenggani berlari-lari pada halaman rumah 
-- yang dahulu tempat ku dan mu 
menyemai benih biji bunga matahari

Semoga, ketika Srenggani usai berlari-lari
mekarnya bunga matahari telah dapat ia nikmati
Meski tak pernah tahu siapa penyemainya

Ketika nanti matahari telah tinggi
beri tahu Srenggani bahwa ada hati yang ia hidupi
dengan senyumnya yang mekar bersama bunga matahari