Kupastikan kau pergi pada pagi hari
Agar kuyakin geligi anak kita menggiling nasi sore nanti.
"Seperti hujan, begitu aku memujamu. Kutumpahkan segala yang telah kutampung untuk bisa kau nikmati sebagai tanah."
Thursday, 27 March 2014
Suatu Kali Sore Hari
Satu kali 'ku pergi berjalan-jalan pada sebuah sore hari
Sekadar mencari sesuatu yang siapa tahu bisa bikin segar hati
Siapa sangka kemudian 'ku tergelincir khilaf lalu belok ke lokalisasi
Buah dada bergantungan seperti daging sapi di Pasar Kemiri
Sore hariku berikutnya kian tak pasti
Sekadar mencari sesuatu yang siapa tahu bisa bikin segar hati
Siapa sangka kemudian 'ku tergelincir khilaf lalu belok ke lokalisasi
Buah dada bergantungan seperti daging sapi di Pasar Kemiri
Sore hariku berikutnya kian tak pasti
Matahari
Kesah yang terengah-engah pada tengah hari itu berkata pada Matahari.
"Kenapa kau bersinar terlalu terik, Matahari?
Tidakkah kau lelah?
Pula kami yang di bawah sini sudah jengah ditimpa musibah.
Tunjukkanlah belas kasihmu sesekali."
Jawab Matahari:
"Beginilah caraku berbelas kasih pada kalian.
Aku berusaha keras agar tetap panas hingga kalian berpeluh.
Agar kalian paham bahwa belas kasihku kalian butuhkan.
Agar hati kalian tak menjadi keras dalam keluh."
"Kenapa kau bersinar terlalu terik, Matahari?
Tidakkah kau lelah?
Pula kami yang di bawah sini sudah jengah ditimpa musibah.
Tunjukkanlah belas kasihmu sesekali."
Jawab Matahari:
"Beginilah caraku berbelas kasih pada kalian.
Aku berusaha keras agar tetap panas hingga kalian berpeluh.
Agar kalian paham bahwa belas kasihku kalian butuhkan.
Agar hati kalian tak menjadi keras dalam keluh."
Inspirasi
Aku tak pernah mencari inspirasi
Inspirasi yang seringkali kujadikan puisi
Semata-mata jatuh dari langit-langit memori
Yang Sang Pemberi bangunkan dengan mengutus para peri
Inspirasi yang seringkali kujadikan puisi ini
Tak jarang bertanya diri: "Terhimpun dari apa aku ini?"
Inspirasi yang seringkali kujadikan puisi
Semata-mata jatuh dari langit-langit memori
Yang Sang Pemberi bangunkan dengan mengutus para peri
Inspirasi yang seringkali kujadikan puisi ini
Tak jarang bertanya diri: "Terhimpun dari apa aku ini?"
Wednesday, 26 March 2014
Sunday, 23 March 2014
Friday, 21 March 2014
Buah Dada Ibu
Ayah mencoba memasangkan bra ibu
'Sesak sekali, Bu?'
Buah dada ibu hampir tumpah
Kata Ibu, itu kasih pada buah hatinya yang begitu ruah.
Jatinangor, 21 Maret 2014
Guru Hidup: Kita Bertamu, Kita Dijamu
Ayahku berharap anaknya jadi orang
Agar kelak tak dianggap sembarang
Ayahku ingin anaknya pandai mencari uang
Agar kelak cucunya bisa senang
Agar tak ada cerita disita barang
karena tak mampu bayar hutang
Ayahku sekolahkan anaknya pada guru di desa seberang
yang ternyata juga seorang penggemar jalang
Guru itu bilang, kau tak perlu pandai cari uang
Akan kuajarkan kau bagaimana caranya terbang
Ayahku sekolahkan anaknya pada Guru Hidup di desa sebelah
yang ternyata, hanyalah seorang penggarap sawah
Katanya, tak punya uang seharusnya tak buat kau resah
Akan kuajarkan kau bagaimana caranya mensyukuri sesah
Lanjut Guru itu:
Nak, hidupmu tak akan menang karena uang
Kau bisa saja makan belalang kalau tak punya uang
Satu-satunya yang kutahu tentang hidup
dan bisa kuajarkan kepadamu:
Percayalah bahwa kau tak akan pernah redup,
Dunia ini tahu kau sedang bertamu, ia akan selalu menjamu.
Agar kelak tak dianggap sembarang
Ayahku ingin anaknya pandai mencari uang
Agar kelak cucunya bisa senang
Agar tak ada cerita disita barang
karena tak mampu bayar hutang
Ayahku sekolahkan anaknya pada guru di desa seberang
yang ternyata juga seorang penggemar jalang
Guru itu bilang, kau tak perlu pandai cari uang
Akan kuajarkan kau bagaimana caranya terbang
Ayahku sekolahkan anaknya pada Guru Hidup di desa sebelah
yang ternyata, hanyalah seorang penggarap sawah
Katanya, tak punya uang seharusnya tak buat kau resah
Akan kuajarkan kau bagaimana caranya mensyukuri sesah
Lanjut Guru itu:
Nak, hidupmu tak akan menang karena uang
Kau bisa saja makan belalang kalau tak punya uang
Satu-satunya yang kutahu tentang hidup
dan bisa kuajarkan kepadamu:
Percayalah bahwa kau tak akan pernah redup,
Dunia ini tahu kau sedang bertamu, ia akan selalu menjamu.
Jatinangor, 21 Maret 2014
2.12 WIB
Wednesday, 19 March 2014
Semangka
Buah semangka yang tinggal sebelah ini
Belum juga tahu alasan ia dibelah
Kata pisau, belahannya pergi untuk dinikmati tamu undangan
Yang sekarang masih asyik berdendang dengan iringan
kendang
Buah semangka yang tinggal sebelah ini menangis sesenggukan
Jiwanya tak terima belahannya begitu kejam diperlakukan
Ia berdarah terus
Hatinya tergerus
Belahannya sudah terbagi enam belas
Ia tak juga bisa melepas
Alih-alih tak jua bisa ikhlas
Semangka yang tinggal sebelah itu
memohon pisau memberinya tebas
Belum juga tahu alasan ia dibelah
Kata pisau, belahannya pergi untuk dinikmati tamu undangan
Yang sekarang masih asyik berdendang dengan iringan
kendang
Buah semangka yang tinggal sebelah ini menangis sesenggukan
Jiwanya tak terima belahannya begitu kejam diperlakukan
Ia berdarah terus
Hatinya tergerus
Belahannya sudah terbagi enam belas
Ia tak juga bisa melepas
Alih-alih tak jua bisa ikhlas
Semangka yang tinggal sebelah itu
memohon pisau memberinya tebas
Jatinangor, 19 Maret 10:04
Semalam kulihat burung gagak berputar-putar pada pusara hati
Tampak ia menanti waktu untuk mematuk gusar yang bersarang
Monday, 17 March 2014
Kepala-kepala
Kepala-Kepala I
Kepala-kepala itu terantuk ingatan,
namun melewatkannya
dengan menengadah
Kepala-kepala itu berjalan tanpa memandang,
sedang mereka tahu menuju jurang
Kepala-kepala itu dikutuk cacian, juga serapah
Kepala-kepala yang tak ingat pada sumpah
Kepala-kepala itu punya tuhan yang mereka pajang di ruang
kerja
dan yang mereka ucap sesempurna purnama di kepala mikrofon
Kepala-kepala yang pada mereka isi kitab suci tak benderang
juga pelajaran ilmu sosial telah beku pada otak mereka yang
suhunya minus
Kepala-kepala II
Kepala-kepala ini mengangguk terpatah,
tebas adalah kado jika bantah mencuat dari ubun-ubun
Kepala-kepala ini menunduk,
asa mereka sudah merunduk menembus tanah terlebih dahulu
Kepala-kepala ini mengutuk dengan caci juga serapah
akibat anak mereka hilang ditelan pemerintah
Kepala-kepala ini tak punya tuhan,
akibat harap mereka pada tuhan untuk meningkatkan suhu otak
pemerintah
tak juga terkabul hingga hati mereka ngebul
Kepala-kepala yang pada mereka isi kitab suci sempat datang,
bertandang
--sekadar bertanya kabar dan berbincang soal hak dan
bodohnya pemerintah --
juga pelajaran ilmu sosial keburu lumer pada otak mereka
yang belum pernah tahu kalau-kalau sosial sudah pernah pamer di negeri ini.
Kepala III
Kepala Ini memandang jiwa-jiwa menggelandang
mengemis hak di
bawah sana
Kepala Ini tak jua paham mengapa
kepala-kepala dibawah sana
tak pernah sepaham soal hidup
Kepala-kepala yang satu merenggut
Kepala-kepala lain terenggut
Sesungguhnya hah-hak kalian adalah hakKu
Susah payah kalian di bawah,
mengapa tak mencoba memohon ke
atas sini?
Jatinangor, 18 Maret 00.01
Baru saja mendapat telfon dari seorang teman yang baru saja putus hubungan cintanya, diputuskan. "Halo" yang pertama kali terdengar ketika telfon tersambung, sudah cukup menjelaskan seluruh kesedihannya. Tak perlu juga sebenarnya ia bercerita. Kata-kata ia luapkan dari hati yang rasa -nya perlahan (dipaksakan) menguap. Toh, cinta tidak sesederhana air yang bisa dituang ke saluran pembuangan jika ia keruh.
Katanya:
"Lebih baik saya mempertahankan pohon yang hampir roboh daripada harus kembali menanam benih."
Mungkin menanam kembali akan terasa lebih melelahkan. Mencari benih baik terlebih dahulu, menanamnya dengan benar, menyiraminya, memberi pupuk, menyiangi gulma, menjaganya dari hama, memberi tegakan kala ia mulai merunduk karena telah lama waktu yang ia jalani. Namun, menurut saya menanam kembali memberikan kita peluang mendapatkan hasil yang lebih baik ketimbang mempertahankan pohon yang nyaris rubuh -- yang rubuhnya kita tak tahu kapan dan bagaimana pada akhirnya ia merubuhkan segala asa.
Katanya:
"Lebih baik saya mempertahankan pohon yang hampir roboh daripada harus kembali menanam benih."
Mungkin menanam kembali akan terasa lebih melelahkan. Mencari benih baik terlebih dahulu, menanamnya dengan benar, menyiraminya, memberi pupuk, menyiangi gulma, menjaganya dari hama, memberi tegakan kala ia mulai merunduk karena telah lama waktu yang ia jalani. Namun, menurut saya menanam kembali memberikan kita peluang mendapatkan hasil yang lebih baik ketimbang mempertahankan pohon yang nyaris rubuh -- yang rubuhnya kita tak tahu kapan dan bagaimana pada akhirnya ia merubuhkan segala asa.
Thursday, 6 March 2014
Wednesday, 5 March 2014
Bela Bangsa - Belkastrelka
Tiba-tiba saja malam ini. Bela Bangsa oleh Belkastrelka.
Setelah membeli CDnya entah sejak kapan tahun, mendengarkannya sesekali, dan kemudian menjadi seringkali, lantas berkali-kali.
Saya membeli CD Bela Bangsa - Belkastrelka ini di sebuah toko buku dan musik di Bandung, Omuniuum.
Sebelumnya saya tidak mengetahui sedikitpun tentang Belkastrelka, namun dengan desain cover 'bermakna banyak' yang disuguhkan inilah saya memutuskan untuk membeli CDnya, terlebih dengan judul album Bela Bangsa, cukup membuat penasaran juga.
Pertama kali CD ini melagu di telinga, saya masih merasa "asing" dengan musik yang dibawakan. Apa ya, musik Belkastrelka ini cukup absurd, ya begitulah bagi saya yang tak paham-paham amat soal musik ini. Sembari CD diputar, saya asyik membuka-buka kemasan seluruhnya. Desain gambar pada kemasan seluruhnya membuat saya berkhayal lebih jauh. Bonus 2 buah stiker yang juga jenaka juga membuat geli sendiri rasanya. Ada satu hal yang membuat saya agak tercengang -tapi tak heran juga sebenarnya-, Belkastrelka mengizinkan lagu-lagu dalam CD ini dibajak, begini bunyinya: "Boleh membajak asal tidak untuk kepentingan komersial". Artinya, kita bisa saja membagikan kepada kerabat kita dengan mudah dan halal. Melihat ketulusan mereka dalam bermusik, menjadi tak aneh ketika tulisan ini terbaca juga.
Terdapat 13 lagu di dalam album ini, berikut adalah lagu-lagu memabukkan itu:
1. Rumah Kardus
2. Pujian Expatriat
3. Agen Gosip
4. Kucing Gering Football Club
5. Stasiun Lupa
6. Pertarungan di Pinggir Selokan
7. Nyanyian Pengantin
8. Jalanan Buruk
9. Kampung yang Tenggelam
10. Mitos Bangsa Ramah
11. Epik Jalanan
12. Duit Duit (Emang Selalu Kurang)
13. Gugur Gunung
Ketigabelas lagu tersebut secara umum mengangkat persoalan-persoalan sosial sederhana dan sedikit tentang cinta yang terjadi di kehidupan sehari-hari kita. Tapi, mejadi tak sederhana lagi ketika mendengarkan dengan seksama. Tergambar jelaslah potret bangsa kita (yang perlu dibela dan saling membela ini).
Favorit saya adalah Stasiun Lupa, Rumah Kardus, Pertarungan di Pinggir Selokan, Jalanan Buruk, dan Mitos Bangsa Ramah. Hahaha. Semuanya saya suka sebenarnya.
Sulit bagi saya untuk menjelaskan kenapa lagu-lagu tersebut bisa begitu terngiang, mungkin kutipan maupun lirik utuh ini akan mampu menjelaskan lebih banyak:
Stasiun Lupa
..........
..........
..........
Demi apapun putarlah sembarang lagu
Agar suara itu tak terdengar
Aku butuh tandai tubuhku
Sebelum seseorang melupakanku
Tak ada hitungan, tak akan ada hitungan
Setelah ini semua orang lupa
Pahlawan hari ini tercatat pada kertas tisu
Yang 'kan kau gunakan untuk keringatmu
Rumah Kardus
Mari dirikan rumah kardus
Biar gampang terbakar
Cepat terhapus
Bahkan oleh hujan
Tapi ada kursi di taman belakang
buat minum teh dan baca koran
sebuah sepeda dan sejumlah ingatan
mungkin tak perlu cinta yang terlalu
karena di sini semua cepat berlalu
Pertarungan di Pinggir Selokan
Panggung muram di halaman / itu tak menawarkan /
harapan kursi-kursi / kosong beberapa diisi /
anak-anak yang tak punya / hiburan di luar /
kemiskinan bergerombol / mencari musuh /
yang bisa dipukulinya / kemiskinan yang lain
Mereka berkumpul / di dalam selokan yang gelap /
mirip semak-semak yang / dingin dan mengerikan /
Tinggal menunggu waktu / di mana peperangan / akan dimulai
Lagu-lagu cinta akan mengiringi para hero ke medan laga
Semalam keributan sudah terjadi di kampung sebelah /
Malam ini adalah kelanjutan yang dinanti-nantikan
Beban keseharian sejenak terlupakan
tinggal pahlawan atau pecundang /
Dan "Keong Racun" diputar lagi di panggung
Mempercepat degup jantung
Mempercepat pedang dilolos
Aku pergi sebelum sesuatu akan terjadi
Jalanan Buruk
Jalanan buruk ini harus diterima
Ia seperti wajah kita
Penuh lobang dan genangan sisa hujan
Jalanan buruk ini membuatku berlama-lama
di jalan sebelumnya akhirnya bisa menemuimu
Jalanan buruk ini telah mengantarku ke panggung-panggung
yang jatuh cinta pada suaramu
Ke tempat-tempat di mana uang berguguran seperti hujan
Meski hanya ribuan, ia akan membasahi tubuhmu
Jalanan buruk ini telah mengantarkanmu kemana-mana
Jalanan buruk ini telah mengantarkanmu kemana-mana
Mitos Bangsa Ramah
Setelah membeli CDnya entah sejak kapan tahun, mendengarkannya sesekali, dan kemudian menjadi seringkali, lantas berkali-kali.
Saya membeli CD Bela Bangsa - Belkastrelka ini di sebuah toko buku dan musik di Bandung, Omuniuum.
Sebelumnya saya tidak mengetahui sedikitpun tentang Belkastrelka, namun dengan desain cover 'bermakna banyak' yang disuguhkan inilah saya memutuskan untuk membeli CDnya, terlebih dengan judul album Bela Bangsa, cukup membuat penasaran juga.
Pertama kali CD ini melagu di telinga, saya masih merasa "asing" dengan musik yang dibawakan. Apa ya, musik Belkastrelka ini cukup absurd, ya begitulah bagi saya yang tak paham-paham amat soal musik ini. Sembari CD diputar, saya asyik membuka-buka kemasan seluruhnya. Desain gambar pada kemasan seluruhnya membuat saya berkhayal lebih jauh. Bonus 2 buah stiker yang juga jenaka juga membuat geli sendiri rasanya. Ada satu hal yang membuat saya agak tercengang -tapi tak heran juga sebenarnya-, Belkastrelka mengizinkan lagu-lagu dalam CD ini dibajak, begini bunyinya: "Boleh membajak asal tidak untuk kepentingan komersial". Artinya, kita bisa saja membagikan kepada kerabat kita dengan mudah dan halal. Melihat ketulusan mereka dalam bermusik, menjadi tak aneh ketika tulisan ini terbaca juga.
Terdapat 13 lagu di dalam album ini, berikut adalah lagu-lagu memabukkan itu:
1. Rumah Kardus
2. Pujian Expatriat
3. Agen Gosip
4. Kucing Gering Football Club
5. Stasiun Lupa
6. Pertarungan di Pinggir Selokan
7. Nyanyian Pengantin
8. Jalanan Buruk
9. Kampung yang Tenggelam
10. Mitos Bangsa Ramah
11. Epik Jalanan
12. Duit Duit (Emang Selalu Kurang)
13. Gugur Gunung
Ketigabelas lagu tersebut secara umum mengangkat persoalan-persoalan sosial sederhana dan sedikit tentang cinta yang terjadi di kehidupan sehari-hari kita. Tapi, mejadi tak sederhana lagi ketika mendengarkan dengan seksama. Tergambar jelaslah potret bangsa kita (yang perlu dibela dan saling membela ini).
Favorit saya adalah Stasiun Lupa, Rumah Kardus, Pertarungan di Pinggir Selokan, Jalanan Buruk, dan Mitos Bangsa Ramah. Hahaha. Semuanya saya suka sebenarnya.
Sulit bagi saya untuk menjelaskan kenapa lagu-lagu tersebut bisa begitu terngiang, mungkin kutipan maupun lirik utuh ini akan mampu menjelaskan lebih banyak:
Stasiun Lupa
..........
..........
..........
Demi apapun putarlah sembarang lagu
Agar suara itu tak terdengar
Aku butuh tandai tubuhku
Sebelum seseorang melupakanku
Tak ada hitungan, tak akan ada hitungan
Setelah ini semua orang lupa
Pahlawan hari ini tercatat pada kertas tisu
Yang 'kan kau gunakan untuk keringatmu
Rumah Kardus
Mari dirikan rumah kardus
Biar gampang terbakar
Cepat terhapus
Bahkan oleh hujan
Tapi ada kursi di taman belakang
buat minum teh dan baca koran
sebuah sepeda dan sejumlah ingatan
mungkin tak perlu cinta yang terlalu
karena di sini semua cepat berlalu
Pertarungan di Pinggir Selokan
Panggung muram di halaman / itu tak menawarkan /
harapan kursi-kursi / kosong beberapa diisi /
anak-anak yang tak punya / hiburan di luar /
kemiskinan bergerombol / mencari musuh /
yang bisa dipukulinya / kemiskinan yang lain
Mereka berkumpul / di dalam selokan yang gelap /
mirip semak-semak yang / dingin dan mengerikan /
Tinggal menunggu waktu / di mana peperangan / akan dimulai
Lagu-lagu cinta akan mengiringi para hero ke medan laga
Semalam keributan sudah terjadi di kampung sebelah /
Malam ini adalah kelanjutan yang dinanti-nantikan
Beban keseharian sejenak terlupakan
tinggal pahlawan atau pecundang /
Dan "Keong Racun" diputar lagi di panggung
Mempercepat degup jantung
Mempercepat pedang dilolos
Aku pergi sebelum sesuatu akan terjadi
Jalanan Buruk
Jalanan buruk ini harus diterima
Ia seperti wajah kita
Penuh lobang dan genangan sisa hujan
Jalanan buruk ini membuatku berlama-lama
di jalan sebelumnya akhirnya bisa menemuimu
Jalanan buruk ini telah mengantarku ke panggung-panggung
yang jatuh cinta pada suaramu
Ke tempat-tempat di mana uang berguguran seperti hujan
Meski hanya ribuan, ia akan membasahi tubuhmu
Jalanan buruk ini telah mengantarkanmu kemana-mana
Jalanan buruk ini telah mengantarkanmu kemana-mana
Mitos Bangsa Ramah
Dimanakah senyummu itu
yang biasa s'lalu menyambutku
Katakan apa masalahmu
Kenapa jadi begitu padaku
Ooh, aku tak tahu
Bisakah kita seperti dulu
Saling peduli dan menghargai
Apa jadinya hidup ini
Bila engkau memalingkan muka
Oh, jangan jangan libatkan aku
dalam urusan rumah tanggamu
Ooh, aku tak mau
Tetaplah seperti yang dulu
Apapun yang terjadi kau s'lalu
Tersenyum padaku
Bisakah kita seperti dulu
Saling peduli dan menghargai
Apa jadinya hidup ini
Bila engkau memalingkan muka
Sunday, 2 March 2014
Bertemu Komodo di Pulau Rinca
Pagi hari di Labuan Bajo, saatnya menjalankan ritual wajib jika kita berwisata ke Labuan Bajo “island hopping”. Yap! Hari ini pulau pertama yang akan kami kunjungi adalah Pulau Rinca, tepatnya resort Loh Buaya. Ternyata, komodo tidak hanya bisa ditemui di Pulau Komodo saja lho. Menurut pemandu wisata kami, komodo di Pulau Rinca konon lebih banyak dan lebih besar dibandingkan di Pulau Komodo sendiri.
Aktivitas yang akan kami lakukan di Pulau Rinca adalah trakking untuk ‘bertemu’ dengan komodo. Di sini tentunya tidak seperti kebun binatang yang dengan mudahnya kita dapat melihat hewan secara ‘pasti’. Di kawasan hutan Taman Nasional Komodo ini kami harus jeli terhadap keberadaan komodo. Terlebih, dengan warna kulitnya yang coklat, seringkali samar di antara semak – semak. Terdapat 3 buah jalur trakking yang disediakan bagi para wisatawan, yaitu long track (5 - 6 km dengan waktu tempuh 2 jam), medium track (3 – 4 km dengan waktu tempuh 1,5 jam), dan yang terakhir adalah short track (2 km dengan waktu tempuh 1 jam).
Oh iya! Ada hal penting yang harus diperhatikan jika kita hendak ‘bertemu’ komodo. Pertama, komodo adalah hewan kanibal, komodo sangat peka terhadap bau darah dan warna merah. Jangan nekat mengikuti trakking jika menggunakan baju merah. Begitu pula, jika teman – teman dalam keadaan memiliki luka berdarah, atau bagi para wanita, sedang datang bulan. Selain itu, komodo juga sangat peka terhadap ‘pancingan gerak’, semisal tali kamera, tas, atau hp yang menjuntai, maupun gerakan – gerakan lain yang bersifat memancing insting komodo.
Eh iya, selain komodo, sesuai dengan namanya “Loh Buaya” yang berarti Teluk Buaya, di sini –pastinya- terdapat buaya! Ada dua jenis buaya yang hidup di sini, yaitu buaya laut dan land crocodile (buaya darat). Pokoknya, kalau sudah disini, kita harus super hati – hati!! Keselamatan kita tergantung kewaspadaan kita!
Whohoho, panas cuaca tidak menghalangi kami untuk bertemu hewan legendaris itu, cucunya naga. Hehe. NAH! Tempat pertama kali kami bertemu dengan komodo ternyata tidak terlalu jauh dari titik awal kami berangkat. Ini adalah dapurnya para ranger, komodo seringkali datang karena mencium bau makanan. Tapi sayang, komodo disini kondisinya sangat menyedihkan. Banyak dari komodo – komodo ini yang sudah tidak bisa berjalan karena kakinya sudah patah akibat bertarung dengan sesama komodo, badannya juga sangat kurus – kurus. Akhirnya,
kesampaian juga melihat legenda hidup yang satu ini. Meski, tidak menyangka
bahwa komodo yang selalu tampak gagah di TV, beberapa yang kami lihat hanya
bisa pasrah di atas tanah. Kami melanjutkan perjalanan, berharap menemukan komodo yang lebih baik.
WHOHOHO! Ternyata Tuhan memberikan keberuntungan kepada kami! Tepat di depan rombongan kami lewat seekor bayi komodo. Pemandu wisata kami sampai berdecak kagum. “Waah, jarang sekali yang seperti ini bisa kejadian. Bertemu dengan komodo dewasa saja untung – untungan, lha kalian bisa bertemu dengan bayinya, bersyukurlah kalian.” Waah, mendengar peristiwa ini termasuk jarang, kami tersanjung juga. Hehe. Pemandu kami kemudian melanjutkan penjelasannya ....
Kami berjalan kembali, dan terus berjalan, sampai akhirnya kami bertemu jalan menanjak. Kami belum tahu akan berujung dimana jalan ini, hingga akhirnya.... Pulau Rinca menjawab. Suguhan pemandangan menakjubkan lagi – lagi kami dapatkan!
Subscribe to:
Posts (Atom)