"Seperti hujan, begitu aku memujamu. Kutumpahkan segala yang telah kutampung untuk bisa kau nikmati sebagai tanah."
Monday, 22 April 2013
Hujan Menghentikan Ibuku
Bagi sebagian orang, memaknai hujan adalah suatu ritual
sakral tersendiri. Aku salah satunya. Itu sebab kupilih kamar dengan jendela
bersebelahan awan di flat ini. Agar,
sewaktu ia menumpahkan hujan, aku bisa menjadi mahluk pertama yang melihatnya. Mengawal
ribuan butir itu dengan lekat tatap hingga meretas tanah.
Aku mencintai hujan
Itu juga sebab, aku selalu memilih tempat duduk tepat
sebelah jendela di bis menuju rumah ini. Ketika kelak hujan turun, aku dapat
melihat butir-butir itu terbentur pasrah pada beningnya kaca. Memecah, kemudian
menyatu. Memecah, kemudian menyatu.
Ia tak pernah sendiri
Hujan juga, selalu menemaniku pulang ke rumah. Aku seringkali
menunggu hari mendung untuk pulang ke rumah. Bisa kutebak kapan hari turun
hujan di kota kecil ini. Jika sudah satu kali turun, hujan akan turun sehari
selang sehari disini.
Biasanya tepat pukul 2 siang-kelabu-hari
Namun siapa sangka, kepulanganku siang hari itu, di tengah
hujan. Aku lupa membawa payung kelabu kesayanganku. Payung pemberian ibu ketika
aku akhirnya pergi meninggalkan rumah untuk hijrah kuliah ke kota kecil ini.
Kuyuplah aku tiba di terminal.
Jari-jariku menari-nari di jendela.
Berusaha menyentuh butiran-memecah-menyatu tersebut di permukaan lain kaca 0.5 mili itu.
Jari-jariku menari-nari di jendela.
Berusaha menyentuh butiran-memecah-menyatu tersebut di permukaan lain kaca 0.5 mili itu.
Hujan hari itu tidak mendamaikan seperti biasanya.
Guruh terdengar bagai ombak bergulung di langit.
Kilat menunjukkan gagahnya, benderang mengurat.
Guruh terdengar bagai ombak bergulung di langit.
Kilat menunjukkan gagahnya, benderang mengurat.
Seketika aku membenci hujan
Ia begitu menyeramkan hari itu
Aku mencoba menghubungi ibu, karena aku tahu, satu-satunya
penakluk rasa takutku hanyalah kehadiran ibuku.
“tuut... tuut ....”
Tak ada jawaban
Mungkin ibu sedang membuat kue.
Oia, ibuku adalah pembuat kue terkenal di desa.
Kucoba lagi
“tuut... tuut...”
..........................
Ah, biarlah. Mungkin ibu sedang sibuk.
Kuputuskan untuk tidur saja.
DRUAR!
Guntur menyambar pendengaranku. Aku bangun gelagapan. Fyuh.Segera
kuraih ponselku di saku jaket. 19 pesan
baru. 27 panggilan tak terjawab.
Apa-apaan ini?
Pesan teratas kubuka...
Mbok Jah, pembantu rumahku
Inna ... Neng, dimana? Mbok
telfon kenapa ga diangkat-angkat?
Ibu,
neng, jatuh waktu mau angkat telpon neng. Terpeleset air hujan di teras.
Ibu . . .
Ibu . . .
Bagai guntur menyambar jantungku.
Aku kalut.
Seandainya waktu itu tidak hujan.
Seandainya waktu guntur tidak bertingkah sok gagah.
Aku tidak akan takut.
Ibu tidak akan pergi –
Kini, aku mual melihat hujan.
Aku muak kepada tiap butirnya yang jatuh di kepalaku.
Jatinangor, 22 April 2013
Subscribe to:
Posts (Atom)